Kediri, sergaponline.online– Gaya hidup retro tengah menjangkiti generasi Z. Dari padu padan busana tahun 90-an, lagu-lagu Sheila on 7 yang kembali berkumandang, hingga kebiasaan mengabadikan momen dengan kamera analog—fenomena ini menunjukkan betapa kuat daya tarik masa lalu bagi generasi yang lahir setelah era itu berakhir.
Media sosial pun diramaikan konten bernuansa vintage: OOTD jaket boomer, filter bergaya roll film, hingga unggahan koleksi kaset jadul. Bukan sekadar tren visual, fenomena ini menandai perubahan dalam cara Gen Z menikmati hidup—lebih pelan, lebih “nyata,” dan lebih berakar pada pengalaman sentuhan langsung, jauh dari hiruk-pikuk digital.
Nostalgia yang Dipinjam: Rindu Masa Lalu yang Tak Pernah Dialami
Fenomena ini dikenal sebagai borrowed nostalgia atau nostalgia pinjaman. Menurut laporan The Guardian dan Vox, ini merupakan kerinduan terhadap masa lalu yang sebenarnya tidak dialami secara langsung.
Psikolog klinis Dr. Krystine Batcho menyebut dalam wawancara dengan Time Magazine bahwa nostalgia ini bisa menjadi bentuk pelarian emosional. “Generasi muda merasa nyaman dengan citra masa lalu yang lebih sederhana, stabil, dan tidak semembebani zaman sekarang,” jelasnya.
Pasca pandemi dan di tengah ketidakpastian ekonomi serta tekanan sosial, banyak anak muda mencari pegangan emosional yang menenangkan—dan masa lalu menjadi jawabannya.
Digital Fatigue dan Usaha Menemukan Ruang Aman
BBC Worklife (2022) menyebut tren retro juga sebagai respons terhadap digital fatigue—kelelahan akibat dunia digital yang serba cepat, penuh notifikasi, dan tuntutan eksistensi online.
Banyak anak muda mulai menjauhi dunia yang terlalu terkoneksi dengan memilih aktivitas yang lebih lambat dan intim: menulis di jurnal fisik, mendengarkan musik dari walkman, hingga berkumpul di kafe bertema retro tanpa gadget.
Tren ini bukan sekadar gaya, melainkan bentuk digital escapism—usaha menjauh dari tekanan era internet demi menemukan ruang hidup yang lebih otentik.
Mencipta Ulang Masa Lalu: Budaya Remix Ala Gen Z
Alih-alih meniru secara mentah, generasi Z justru merekonstruksi budaya 90-an menjadi versi baru yang lebih personal. Henry Jenkins, peneliti budaya pop dari University of Southern California, menyebutnya sebagai remix culture.
Di sinilah letak kekuatan tren ini—bukan nostalgia buta, melainkan adaptasi kreatif. Gaya lama dikawinkan dengan nilai-nilai kontemporer, menghasilkan bentuk ekspresi diri baru yang tetap punya sentuhan sejarah.
Analis budaya The New York Times, Amanda Mull, menyebut tren ini sebagai refleksi dari krisis identitas masa kini. Dalam dunia yang makin tak pasti, Gen Z membangun “rumah emosional” melalui kenangan era yang mereka anggap lebih hangat dan masuk akal.
Romantisme yang Relevan
Kebangkitan budaya 90-an di kalangan Gen Z menunjukkan bahwa nostalgia bukan hanya milik mereka yang pernah hidup di masa itu. Dalam dunia yang cepat berubah, nilai-nilai lawas seperti kesederhanaan, kehangatan, dan keterhubungan nyata menjadi bentuk perlawanan terhadap alienasi digital.
Romantisme masa lalu menjadi kompas emosional generasi baru. Dan meski yang dirayakan adalah masa lalu, pesan yang dibawa justru sangat relevan untuk masa kini. (red:a)
Posting Komentar