LOMBOK, sergaponline.online– Tragedi jatuhnya pendaki asal Brasil, Juliana Marins, di Gunung Rinjani pada Sabtu (21/6), memantik sorotan global. Proses evakuasi yang berlangsung selama lima hari menjadi bahan kritik pedas dari publik Brasil, bahkan membanjiri akun Instagram milik Basarnas hingga Presiden RI Prabowo Subianto.
Juliana dilaporkan terperosok di Cemara Nunggal, jalur pendakian yang mengapit jurang menuju puncak Rinjani. Ia masih terlihat hidup pada hari kejadian, terekam oleh drone dan beberapa pendaki lain. Namun, baru pada Selasa (24/6) tim penyelamat berhasil menjangkaunya dan menyatakan bahwa ia telah meninggal dunia. Jenazahnya baru bisa dievakuasi keesokan harinya, Rabu (25/6).
Akun Instagram @resgatejulianamarins, yang mengatasnamakan keluarga korban, menyebut adanya kelalaian besar. “Jika proses evakuasi berlangsung dalam waktu tujuh jam, Juliana bisa saja selamat,” tulisnya. Mereka bertekad menuntut keadilan atas kejadian tragis ini.
Mengapa Proses Evakuasi Memakan Waktu?
Tim SAR menyebut medan ekstrem, perubahan cuaca, hingga keterbatasan peralatan sebagai faktor penghambat utama. Juliana jatuh ke jurang sedalam 600 meter, dan tali penyelamat bahkan tidak mencukupi.
Pendaki senior Ang Asep Sherpa menilai bahwa Indonesia belum memiliki sistem penyelamatan darurat di gunung sekompleks negara lain seperti Malaysia. Ia mendorong perlunya alat penyelamatan di pos-pos rawan sebagai langkah antisipasi.
Senada, Mustaal—penyelenggara pendakian Rinjani—mengakui alat rescue yang terbatas dan sebagian bahkan harus diambil dari Mataram. “Dengan kelengkapan alat, seharusnya korban bisa diselamatkan lebih cepat,” ujarnya.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Yarman Wasur, membantah anggapan lambatnya evakuasi. Menurutnya, tim profesional langsung dikerahkan, namun medan yang ekstrem menyulitkan proses penyelamatan. Ia menambahkan, korban sempat berpindah posisi, menyulitkan pencarian.
Pertanyaan tentang Helikopter
Warganet mempertanyakan mengapa helikopter tidak langsung dikerahkan. Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii menjelaskan bahwa helikopter sempat disiapkan, namun tidak dapat menjangkau lokasi karena keterbatasan kemampuan ketinggian helikopter dan cuaca buruk.
Pengamat penerbangan Gerry Soejatman menyebut bahwa helikopter Basarnas tidak mampu melakukan “hover” di ketinggian lokasi korban (9.400 kaki), sementara kemampuan helikopter hanya 8.130 kaki.
Evaluasi Total dan Tuntutan Perubahan
Para pendaki senior dan pecinta alam menilai tragedi ini seharusnya menjadi momentum evaluasi nasional.
Galih Donikara menilai pos-pos pendakian perlu dijaga oleh tim rescue yang terlatih, serta dilengkapi SOP penyelamatan yang spesifik untuk setiap medan berbahaya. Ia juga menyoroti absennya pagar atau tali pembatas di area rawan jurang.
Asep Sherpa menambahkan, banyak pendaki pemula yang naik tanpa persiapan memadai. “Mereka tertarik karena keindahan di media sosial, tapi tak memahami resikonya,” ujarnya.
Balai Taman Nasional Rinjani menyebut telah melakukan revisi SOP sejak Maret 2025 dan menerapkan aturan ketat, termasuk rasio satu guide untuk enam pendaki asing. Namun, pasca insiden ini, pihaknya berjanji melakukan evaluasi total.
Rinjani Bukan untuk Pemula?
Gunung Rinjani dikenal dengan trek ekstrem, khususnya menuju puncak melalui jalur "Letter E" yang berpasir, licin, dan terjal. Banyak pendaki terjatuh di jalur ini karena kabut, angin, atau kelelahan.
Mustaal mengatakan Rinjani memang tidak memiliki pembatas bagi pendaki, namun semua jalur harus dilewati dengan pendamping. Ia menekankan bahwa medan Rinjani “tidak untuk pendaki yang hanya bawa air minum dan kamera selfie.”
Penutup dan Refleksi
Proses evakuasi Juliana Marins yang panjang kini menjadi sorotan dunia. Keluarga menuntut keadilan, masyarakat internasional menuntut transparansi, dan pecinta alam Indonesia menyerukan pembenahan menyeluruh.
Peristiwa ini menjadi pengingat keras bahwa keindahan alam selalu menyimpan risiko—dan keselamatan seharusnya menjadi prioritas mutlak dalam setiap petualangan. (red:a)
Posting Komentar