Kediri, sergaponline.online – Kata “gratis” akhir-akhir ini kembali ramai diperbincangkan, terutama sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pendidikan dasar di Indonesia harus benar-benar gratis. Tapi tahukah kamu? Kata “gratis” itu sendiri sebenarnya bukan asli dari bahasa Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “gratis” berarti cuma-cuma atau tidak dipungut biaya. Namun, kata ini adalah hasil serapan dari bahasa Belanda. Menariknya, Belanda juga bukan pemilik asli kata tersebut. Mereka meminjam dari bahasa Spanyol: gratiis (dengan dua i). Lalu Spanyol pun mengadopsinya dari bahasa Latin: gratuitus, yang artinya tetap sama—tanpa biaya.
Di Inggris, kata yang digunakan adalah free, meskipun kata ini punya dua arti: bebas dan gratis. Makna ganda ini sering membuat bingung orang non-native speaker. Tapi bagi orang Indonesia, kata "gratis" sudah sangat familiar—dan kini, tak hanya sekadar akrab di telinga, tapi juga menjadi kebijakan negara.
Keputusan MK yang mengubah frasa dalam Pasal 34 Ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional membuat istilah “gratis” naik kelas: dari kata serapan jadi amanat konstitusional. MK memutuskan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib menjamin pendidikan dasar (SD-SMP dan sederajat), baik negeri maupun swasta, tidak memungut biaya sepersen pun. Termasuk bagi masyarakat yang mampu secara ekonomi.
Sebetulnya, pendidikan gratis bukan hal baru. Pemerintah Indonesia pernah menerapkannya di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lewat program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tapi, pelaksanaannya belum ideal, terutama di sekolah swasta yang tidak mendapat dukungan penuh dari negara.
Kini, lewat putusan MK, angin segar kembali berembus. Akses pendidikan dasar akan semakin terbuka lebar, tanpa memandang status sosial dan ekonomi. Tidak harus lagi berburu sekolah negeri favorit. Anak-anak bisa bersekolah di swasta terdekat tanpa dibebani biaya—asalkan sekolah tersebut menerima bantuan pemerintah.
Pertanyaannya: siapkah anggaran kita?
Menurut hemat penulis, Indonesia mampu. Masalahnya bukan soal uang, melainkan kemauan dan prioritas. Jika pemerintah bisa menggelontorkan anggaran untuk proyek-proyek ambisius seperti sekolah rakyat dan sekolah garuda, maka mewujudkan pendidikan dasar gratis bukanlah utopia. Malah, itu bentuk nyata dari pelaksanaan amanat UUD.
Keputusan MK ini seharusnya menjadi momentum untuk merombak sistem pendidikan kita yang sudah lama dikritik. Zonasi semestinya bukan jadi batu sandungan, melainkan alat untuk menyebar pemerataan. Tapi selama masyarakat masih terjebak dalam gengsi sekolah favorit, maka semangat pemerataan hanya akan jadi wacana kosong.
Gratis, yang awalnya hanya kata pinjaman dari bahasa asing, kini punya makna baru. Ia jadi simbol harapan baru. Harapan bahwa pendidikan tidak lagi eksklusif bagi yang punya, tapi inklusif bagi semua.
Kini, tinggal kita memilih: memperjuangkan pemerataan, atau tetap larut dalam label prestise sekolah favorit. Karena pada akhirnya, pendidikan yang sejati bukan soal di mana belajar, tapi sejauh mana kita membuka kesempatan yang sama untuk semua anak bangsa.(red.al)
Posting Komentar