Menjaga Stamina dan Rindu Kampung Halaman, Jemaah Haji Kediri Raya Bersiap Hadapi Puncak Ibadah Haji

  


Makkah,  sergaponline.online – Tujuh hari menjelang puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), jemaah haji dari Kediri Raya terus menyiapkan diri secara fisik dan spiritual. Di sela waktu menanti wukuf, mereka mengisi hari dengan memperbanyak ibadah, termasuk melaksanakan umrah sunnah. Tak hanya itu, rasa rindu kampung halaman pun mereka salurkan dengan cara unik: berburu kuliner khas Indonesia di negeri orang.

Ketua Kloter SUB 03, Khoirul Anam, menyampaikan bahwa mayoritas jemaahnya dalam kondisi sehat walafiat. Namun, tak sedikit pula yang mulai terserang keluhan ringan seperti batuk, pilek, dan kelelahan. "Kami tangani dengan memberikan obat dan perawatan oleh tim medis kloter. Bahkan kami datangi langsung jemaah yang tidak tinggal satu hotel, agar pelayanan tetap maksimal," ujar Khoirul.

Pria yang memimpin jemaah dari Kota Kediri dan sebagian Kabupaten Tulungagung ini menekankan pentingnya menjaga stamina. "Kami tetap imbau jemaah untuk tidak memaksakan diri melakukan ibadah sunnah. Fokus utama kita adalah menjaga kondisi jelang puncak ibadah di Armuzna," tegasnya.

Hal senada diungkapkan oleh dr. Fari Tedy Rahardian, dokter kloter SUB 06. Menurutnya, saat ini tim kesehatan memperketat pengawasan dan edukasi kepada jemaah. Ia rutin mengingatkan mereka untuk mengurangi aktivitas di luar hotel dan selalu menggunakan alat pelindung diri. "Ibadah sunah memang baik, tapi jangan sampai membuat tubuh kelelahan. Kesehatan jemaah adalah prioritas utama," jelas Tedy.

Keluhan terbanyak yang dijumpai tim medis adalah batuk, pilek, hingga kelelahan dan nyeri sendi. Namun, kondisi umum jemaah tetap stabil dan tidak ada kasus serius yang mengkhawatirkan.

Di sisi lain, rasa jenuh terhadap makanan hotel mulai terasa di kalangan jemaah. Menu makan yang cenderung sama setiap hari membuat mereka rindu masakan rumah. Untuk mengobati rindu itu, para jemaah ramai-ramai mendatangi pasar kaget yang muncul bakda Subuh di depan hotel mereka menginap. Di sana, para mukimin (warga Indonesia yang menetap di Arab Saudi) menjajakan aneka kuliner nusantara.

Mulai dari nasi pecel, nasi kuning, urap-urap, nasi ikan pindang, hingga bakso dan nasi goreng, semua tersedia. Tak ketinggalan gorengan seperti pisang goreng, ote-ote, dan onde-onde turut meramaikan deretan lapak sederhana yang buka beberapa jam saja setiap pagi. “Ini saya beli telur rebus empat biji harganya lima real. Urap-urap tanpa nasi juga lima real,” ujar Ahmad, jemaah asal Ngadiluwih sambil tersenyum puas.

Gratis. Bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maknanya adalah cuma-cuma. Tidak dipungut biaya. Meski kata ini populer dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, namun dalam konteks ibadah haji, “gratis” seolah menjadi kata langka. Sebab, hampir semua aktivitas memerlukan biaya, mulai dari transportasi, makanan, hingga oleh-oleh. Namun, meski tak gratis, para jemaah tetap bersyukur dapat merasakan suasana kebersamaan di tanah suci.

Apalagi, keramahan mukimin yang menyediakan makanan khas Indonesia dengan harga yang relatif murah terasa sangat membantu dan memberi kenyamanan tersendiri. Tak sekadar melepas rindu, kuliner ini juga menjadi perekat antarsesama jemaah. Mereka berkumpul, bercerita, dan tertawa bersama—mengisi waktu sambil menanti detik-detik wukuf di Arafah.

Kini, para jemaah Kediri Raya hanya tinggal bersiap diri. Menjaga kondisi fisik dan mental agar saat tiba hari wukuf, mereka dapat melaksanakan rukun Islam kelima dengan khusyuk, lancar, dan mabrur.(red.al)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama