Status Menikah Pengaruhi Partisipasi Kerja di Kota Kediri, TPAK Alami Penurunan Tipis

 


KEDIRI,  sergaponline.online – Tren perubahan sosial di Kota Kediri ternyata berdampak pada dinamika ketenagakerjaan. Salah satunya adalah perubahan status pernikahan yang terbukti ikut menurunkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di wilayah ini.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kediri, pada tahun 2024 terjadi penurunan TPAK sebesar 1,09 persen, atau sekitar 403 orang, dibandingkan tahun sebelumnya. Meski tergolong kecil, penurunan ini mencerminkan adanya pergeseran pola pikir masyarakat terhadap peran dan prioritas dalam kehidupan.

Salah satu contoh nyata datang dari Lusia (25), warga Kecamatan Mojoroto. Setelah menikah dan memiliki anak, Lusia memutuskan berhenti bekerja untuk fokus mendampingi tumbuh kembang buah hatinya.

“Dulu kerja tujuannya untuk punya penghasilan. Tapi setelah punya anak, keinginan terbesar saya adalah bisa mendampinginya setiap hari. Ada masa-masa penting yang tidak ingin saya lewatkan,” ujar Lusia.

Meski demikian, Lusia tak menutup kemungkinan akan kembali bekerja di masa depan. “Kalau anak sudah besar dan sudah sekolah, saya ingin bantu suami cari tambahan penghasilan. Tapi untuk saat ini, keluarga jadi prioritas utama,” tambahnya.

Fenomena seperti Lusia ini, menurut Kepala BPS Kota Kediri Emil Wahyudiono, menjadi salah satu penyebab menurunnya angka angkatan kerja. Selain faktor menikah dan memiliki anak, perubahan status akibat pensiun juga memberi pengaruh cukup signifikan.

“Yang sudah pensiun ini, meski masih produktif untuk diri sendiri atau komunitasnya, secara statistik tidak lagi masuk kategori angkatan kerja,” jelas Emil.

TPAK Kota Kediri tercatat 71,83 persen pada 2023 dengan jumlah 166.321 orang, kemudian menurun menjadi 70,74 persen pada 2024, atau sekitar 165.918 orang. Meski penurunannya tidak terlalu drastis, fenomena ini menunjukkan dinamika sosial yang patut dicermati oleh pengambil kebijakan.

Dari jumlah tersebut, 159.426 orang tercatat sebagai pekerja, sementara 6.492 orang berstatus pengangguran terbuka. Emil juga menjelaskan bahwa tidak semua pekerja memperoleh upah. Salah satu contohnya adalah pekerja keluarga, seperti remaja berusia 15 tahun ke atas yang membantu orang tua berjualan di warung atau pasar lebih dari satu jam per hari.

“Secara teknis, mereka termasuk angkatan kerja karena sudah memenuhi kriteria jam kerja. Tapi karena tidak menerima upah, mereka masuk dalam kategori pekerja tak dibayar,” paparnya.

Sementara itu, kategori pengangguran juga memiliki definisi tersendiri. “Bukan hanya yang belum mendapat pekerjaan, tapi juga termasuk mereka yang sudah diterima kerja tapi belum mulai bekerja. Contohnya, seseorang yang sedang menunggu SK pengangkatan tapi belum menjalankan tugasnya,” terang Emil.

Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah daerah dalam merancang program ketenagakerjaan yang adaptif, terutama bagi kelompok perempuan dan lansia. Diperlukan dukungan sistem dan kebijakan yang lebih ramah keluarga serta membuka ruang kerja fleksibel.

“Isu ketenagakerjaan bukan hanya soal angka, tetapi bagaimana kita membaca pola perubahan sosial yang terus berkembang dan memberi respon yang tepat,” pungkas Emil.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama