Oleh: Abdullah Muzi Marpaung
Dosen Teknologi Pangan, Swiss German University
sergaponline.online - Bahasa adalah arena perjumpaan sejarah, budaya, dan kekuasaan. Kata-kata yang kita gunakan hari ini bukanlah hasil dari proses yang netral. Mereka melalui seleksi ketat: ada yang bertahan, ada yang tergeser, dan ada yang hilang perlahan. Salah satu contohnya adalah pertarungan sunyi antara tiga kata yang berbagi makna “sedang” atau “tidak berlebihan”: sederhana, ugahari, dan rembunai. Ketiganya kini masih tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), namun penggunaannya tidak lagi setara.
Rembunai, Ugahari, dan Sederhana: Sebuah Pemetaan Awal
Dalam KBBI terkini, rembunai didefinisikan sebagai “sedang (besarnya atau tingginya)”, ugahari sebagai “sedang; pertengahan; sederhana”, sementara sederhana memiliki spektrum makna yang jauh lebih luas: dari “bersahaja” hingga “tidak banyak pernik; lugas”.
Namun, dominasi makna sederhana tak hadir tiba-tiba. Ada sejarah panjang dan menarik di balik proses penguatan satu kata ini, yang kini menjadi idiom kebajikan sosial dan gaya hidup yang dipuji-puji. Di sinilah kita perlu melihat kembali bagaimana rekam jejak leksikon dalam kamus-kamus sejak abad ke-19.
Awal Abad ke-19: Saat Ugahari Mendominasi
William Marsden, leksikografer Inggris, dalam kamus tahun 1812, sudah mencatat dua dari tiga kata: sadarāna (bentuk awal dari sederhana) dan agahari (asal ugahari). Sadarāna berarti "sedang, proporsional, seimbang", sementara agahari didefinisikan sebagai “tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil”. Menariknya, rembunai tidak tercatat dalam kamus Marsden—sebuah indikasi awal bahwa posisi kata ini sudah tidak sekuat yang lain.
Sepanjang abad ke-19, ugahari justru tampil lebih menonjol dibanding sederhana. Kamus-kamus seperti milik Pijnappel (1863, 1875) dan Von de Wall (1877) mencatat berbagai variasi dari ugahari—agahari, gahari, oegahari—yang semuanya bermakna “pertengahan” atau “moderat”. Bahkan contoh kalimat seperti harga agahari dan panas agahari menjadi ilustrasi penggunaan yang lumrah.
Kata sederhana (atau sadarāna) masih hadir, tapi belum mengakar kuat dalam kosakata populer. Bisa dikatakan, di abad ini, ugahari masih memimpin dalam percakapan seputar “keseimbangan”.
Awal Abad ke-20: Momentum Perubahan
Perubahan besar mulai tampak pada awal abad ke-20. Wilkinson (1901) tidak hanya mencatat sederhana, tetapi juga memberikan etimologinya dari bahasa Sanskerta—su dan dharana—yang menyiratkan makna “menjaga dengan baik”, atau “keseimbangan yang tepat”.
Khususnya menarik, Wilkinson memadankan sederhana dengan rembunai, menunjukkan bahwa makna “proporsional secara fisik” telah mulai dipindahkan dari rembunai ke sederhana. Di sinilah sederhana mulai membajak makna yang selama ini dimiliki dua kata lain.
Kamus-kamus lain seperti Ridderhof (1935) masih mencatat ugahari, tapi kita bisa membaca tanda-tanda penurunan pamornya.
Media Cetak: Alat Dominasi Baru
Dominasi sederhana makin kentara saat kita menelusuri data dari Delpher.nl—arsip media cetak Belanda yang juga memuat publikasi Hindia Belanda. Dalam kategori buku, sederhana dan variannya muncul 215 kali, jauh melampaui ugahari (86 entri) dan rembunai (22 entri). Di surat kabar, perbedaannya bahkan lebih ekstrem: sederhana muncul 199 kali, sementara dua kata lain tidak ditemukan sama sekali.
Fakta ini menegaskan bahwa dominasi bahasa bukan hanya ditentukan di kamus, tapi juga di ruang publik, termasuk media massa. Saat surat kabar mulai menggunakan sederhana secara masif, maka masyarakat pun mengadopsinya. Dari sinilah sederhana menjadi kata yang tak hanya umum, tapi juga identik dengan nilai moral tertentu.
Abad ke-20 dan Setelahnya: Simbol Kebajikan
Kamus Poerwadarminta (1954) menjadi saksi atas kemapanan makna sederhana sebagai idiom yang merambah ke ranah ekonomi, gaya hidup, bahkan spiritualitas. Sementara ugahari dan rembunai tetap tercatat, tapi hanya sebagai sinonim terbatas.
Ugahari yang dulu kuat sebagai simbol keseimbangan kini lebih banyak kita temui dalam sastra atau pidato-pidato formal. Rembunai bahkan nyaris tak terdengar, seolah menjadi artefak leksikal masa lalu.
Sebuah Refleksi: Ketika Bahasa Memilih
Perjalanan tiga kata ini mengajarkan kita bahwa bahasa tidak pernah diam. Ia memilih, mengeliminasi, dan kadang mengafirmasi makna berdasarkan konteks sosial, budaya, bahkan politik. Sederhana bukan hanya bertahan, ia menang. Namun, kemenangan ini juga berarti kehilangan atas kekayaan nuansa yang dulu dibawa oleh ugahari dan rembunai.
Kini, ketika kita berkata “hidup sederhana”, mungkin kita lupa bahwa dulu ada cara lain untuk mengungkapkan hidup yang seimbang: dengan ugahari, atau rembunai. Kata-kata ini, walau tidak lenyap, tengah tertidur panjang di tepi bahasa kita.
Tambahan kalimat sesuai permintaan:
Salut untuk kita semua yang masih menghargai jejak-jejak bahasa seperti ini. Karena memahami sejarah kata adalah bagian dari memahami siapa kita sebagai bangsa.
(red.al)
Posting Komentar