KOTA KEDIRI, sergaponline.online – Langkah tegas kembali ditunjukkan Wali Kota Kediri, Vinanda Prameswati, dalam menata wajah kota. Belum genap setengah tahun menjabat, Vinanda langsung bergerak cepat dengan menertibkan lapak-lapak Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berdiri di atas trotoar Jalan Joyoboyo dan Jalan Patiunus.
Penertiban ini bukan sekadar soal estetika kota, tetapi bentuk keberanian dalam menegakkan aturan yang selama ini kerap diabaikan. Salut untuk Wali Kota Kediri, Vinanda Prameswati, yang di awal pemerintahannya, sudah langsung berani menertibkan PKL (pedagang kaki lima).
Sedikitnya 24 bangunan milik PKL yang berdiri di atas trotoar Jalan Patiunus dibongkar. Bangunan-bangunan tersebut sebagian besar telah menyerupai rumah permanen lengkap dengan fondasi beton, tembok bata, bahkan fasilitas MCK di dalamnya.
Sementara di Jalan Joyoboyo, bangunan yang dibongkar merupakan lapak semi permanen yang menggunakan kayu dan atap seng. Kedua kawasan tersebut selama ini menjadi titik yang dipenuhi aktivitas niaga liar yang menyebabkan penyempitan jalan dan terganggunya hak pejalan kaki.
Namun, Vinanda menegaskan bahwa penertiban bukan berarti pelarangan. Para PKL tetap diperbolehkan berjualan, asal menggunakan gerobak portabel yang bisa dipindah sewaktu-waktu. Solusi ini merupakan bentuk kebijakan humanis yang tetap memperhatikan kebutuhan ekonomi warga, tanpa mengorbankan ketertiban kota.
Penataan PKL memang menjadi tantangan tersendiri bagi kepala daerah. Tidak semua pemimpin berani mengambil langkah ini karena risikonya besar—baik secara sosial maupun politis. Di era media sosial, setiap insiden mudah diviralkan. Kegaduhan sekecil apapun bisa dengan cepat menyebar dan menggerus popularitas.
Namun, Mbak Wali—sapaan akrab Vinanda—justru menunjukkan kepemimpinan yang berani dan konsisten. Ia tidak takut popularitasnya menurun, asalkan kebijakan yang diambil berpihak pada kepentingan publik secara luas. Bukan untuk menyingkirkan PKL, tapi untuk menata mereka agar tidak menyalahi aturan dan mengganggu kepentingan pengguna jalan lainnya.
Trotoar adalah hak bersama. Ketika disulap menjadi bangunan tetap, maka fungsi utamanya sebagai ruang publik hilang. Kota menjadi semrawut, lalu lintas terganggu, dan pemandangan kota kehilangan keindahannya.
Tantangan terbesar saat ini adalah menciptakan sistem yang mendukung keberlangsungan PKL tanpa merugikan warga lainnya. Ada tiga skema yang bisa diterapkan:
Relokasi ke tempat khusus yang dirancang ramah bagi PKL,
Pemberian izin terbatas di zona tertentu dengan pengawasan ketat,
Pendataan dan pembinaan melalui koperasi atau pelatihan kewirausahaan, agar para PKL naik kelas dan punya usaha yang lebih mapan.
Di Kota Kediri, sejauh ini belum ada tempat relokasi khusus yang ideal bagi PKL. Harapannya, di bawah duet kepemimpinan Mbak Wali dan Gus Qowim, langkah-langkah konkret seperti ini bisa segera terwujud. Bukan hanya menertibkan, tetapi juga memberikan solusi dan memberdayakan.
Perlu diakui, menertibkan PKL adalah uji nyali. Ada tekanan sosial karena PKL kerap dianggap simbol ekonomi rakyat kecil. Ada resistensi politik karena keberadaan PKL sering dipolitisasi menjelang pemilu. Tapi jika dibiarkan, akan tercipta ketidakadilan dan ketidakteraturan yang lebih besar.
Pemimpin yang kuat bukan hanya bisa menyenangkan semua pihak, tetapi juga berani mengambil kebijakan tidak populer demi kebaikan jangka panjang. Dan Vinanda Prameswati sudah membuktikan itu.
Semoga Kota Kediri yang kecil ini, ke depannya, di bawah kepemimpinan Mbak Wali dan Gus Qowim, semakin tertata, dan semakin teratur pemandangan kotanya. Sehingga menjadi kota yang (benar-benar) ngangeni.(red.al)
Posting Komentar