Di Balik Feed Estetik: Saat Media Sosial Menjadi Cermin Harapan dan Kecemasan

  


KEDIRI, sergaponline.online  – Cukup buka Instagram beberapa menit, mata kita akan disuguhi tampilan foto-foto yang seragam: warna pastel yang lembut, meja kopi yang tertata, potret diri dengan outfit bernuansa senada. Tampaknya, semua orang sedang berlomba tampil se-estetik mungkin.

Namun di balik visual yang tertata rapi, tersimpan pertanyaan mendalam: benarkah ini cerminan ekspresi, atau justru tekanan sosial yang dibungkus algoritma?

Bagi Alvina Putri, mahasiswa asal Kediri yang juga aktif di dunia konten fashion, dunia aesthetic bukan sekadar hobi—tapi sudah menjadi bagian dari identitas. “Sebenarnya awalnya aku suka-suka aja posting OOTD atau makeup soft look. Tapi lama-lama, kayak ada ekspektasi tersendiri dari orang-orang. Kalau fotonya beda tone aja, bisa dibilang nggak matching,” ujarnya.

Fenomena ini berakar dari budaya visual yang tumbuh sejak era Tumblr dan Pinterest. Kala itu, unggahan bernuansa vintage, minimalis, hingga grunge menjadi cara seseorang menunjukkan karakter. Tapi sejak Instagram menjadi panggung utama, ekspresi personal mulai berubah menjadi standar estetik tak tertulis.

“Estetik jadi kayak kewajiban. Kalau mau dapat likes banyak atau engagement bagus, ya harus ikut gaya yang sedang tren,” tambah Alvina.

Di baliknya, algoritma media sosial berperan besar. Sistem cerdas ini menyukai konten yang konsisten, terang, dan visualnya rapi. Tanpa sadar, pengguna terdorong menciptakan konten yang “disukai algoritma”, bukan yang mereka suka secara jujur.

Validasi Sosial, Bukan Sekadar Warna Feed

Fenomena membandingkan diri semakin kuat ketika standar visual ini dijadikan tolok ukur pencapaian hidup. Banyak orang merasa harus memiliki kamar minimalis, outfit mahal, atau aktivitas liburan aesthetic hanya agar bisa “layak” dibagikan di feed.

“Padahal, nggak semua yang kelihatan di Instagram itu real. Banyak yang memang dikurasi, diedit, bahkan di-setting hanya untuk dapat konten,” ujar Nasywa, fotografer lepas di Kediri yang kerap membantu klien membuat konten branding pribadi.

Menurutnya, tekanan untuk tampil estetik kini bukan hanya dirasakan influencer atau pelaku UMKM, tapi juga masyarakat umum. “Dulu orang datang ke studio buat foto wisuda, sekarang bisa buat stok foto aesthetic biar feed-nya rapi,” tambahnya sambil tertawa.

Ketika Aesthetic Menjadi Cermin Diri

Identitas digital kini kerap dianggap sebagai representasi diri yang sesungguhnya. Akun Instagram bukan lagi sekadar tempat berbagi, tapi juga dinilai sebagai “kartu nama visual”. Di sinilah batas antara realita dan representasi mulai kabur.

Tentu, tidak salah jika seseorang ingin menampilkan sisi terbaiknya. Namun, penting untuk disadari bahwa apa yang terlihat di media sosial hanyalah potongan kecil dari kehidupan yang sesungguhnya.

“Aku belajar buat santai aja. Feed rapi itu menyenangkan, tapi nggak harus bikin stres. Yang penting tetap jadi diri sendiri,” tutup Alvina.

Pada akhirnya, estetik hanyalah gaya—bukan ukuran nilai diri. Tak mengapa jika feed-mu tak sempurna. Yang lebih penting adalah memastikan hidupmu tetap autentik, meski tak selalu terbingkai dengan tone warna yang senada.(RED.AL)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama