Sketsa Kehidupan Santoso: Dari Yatim Piatu Jadi Seniman yang Karyanya Dihargai Belasan Juta

  


KEDIRI, sergaponline.online   – Di sudut arena Festival Kuno Kini, di bawah payung sederhana dan lapak berukuran 2x2 meter, duduk seorang pria bersahaja bernama Santoso. Mengenakan kaus oblong biru muda dan luaran baju lurik hijau-krem, ia tampak tekun melayani pengunjung yang ingin wajah mereka dituangkan dalam bentuk sketsa.

“Saya sudah di sini dari jam sebelas siang, nanti sampai jam sepuluh malam,” katanya sambil terus menggoreskan pensil di atas kertas putih.

Sketsa bukan sekadar karya bagi Santoso. Ini adalah jalan hidup yang ia pilih dan tekuni selama hampir dua dekade. Sejak tahun 2005, pria asal Kelurahan Tamanan, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri ini telah mendedikasikan waktunya untuk menggambar, memahat, dan menuangkan imajinasi ke dalam bentuk visual.

“Saya tidak tahu apakah ini bakat turunan atau bukan. Sejak kecil saya sudah yatim piatu. Tidak sempat mengenal siapa orang tua saya sebenarnya,” ucapnya pelan. Matanya menerawang sejenak, lalu kembali menunduk menatap kertas gambar.

Kesedihan masa kecil tak membuat Santoso tenggelam. Justru dari kekosongan itulah ia membangun semangat untuk terus belajar. Dunia seni menjadi tempatnya berteduh, mengekspresikan luka, dan menyusun harapan.

Ketertarikannya mulai tumbuh saat duduk di bangku SMP, ketika ia bergabung dengan ekstrakurikuler menggambar. Sejak saat itu, pensil dan kertas seperti sahabat sejatinya. Proses belajar pun dilakukannya secara otodidak hingga SMA.

“Gambar wis dadi hobiku. Tapi saya terus belajar. Bahkan dari komplain pelanggan sekalipun, saya anggap itu guru terbaik,” ujarnya sambil tersenyum.

Kini, karya-karyanya tak hanya menjadi kenangan bagi para pelanggan di berbagai acara. Beberapa bahkan laku hingga belasan juta rupiah, terutama karya-karya sketsa potret atau lukisan realis ukuran besar yang memerlukan ketelitian dan waktu pengerjaan lebih dari sepekan.

“Ada yang minta lukisan keluarga besar dalam satu kanvas besar. Biasanya saya kerjakan di rumah. Harganya bisa sampai lima belas juta,” bebernya.

Namun di balik kesuksesannya, Santoso tetap rendah hati. Ia tak pernah menganggap dirinya ahli, apalagi sempurna. Ia justru terus membuka diri untuk belajar dari siapa saja.

“Bagi saya, belajar itu gak kenal umur. Selama masih hidup, ya terus belajar. Wong urip kui kudu nduweni semangat,” ucapnya mantap.

Dalam dunia yang serba cepat ini, Santoso menjadi pengingat bahwa ketekunan, kesabaran, dan kesungguhan bisa membawa seseorang keluar dari kesunyian menjadi sosok yang dihargai.

Kini, setiap goresan yang ia torehkan di atas kertas bukan hanya membentuk wajah atau bentuk. Tapi juga menyimpan kisah – tentang kehilangan, perjuangan, dan harapan yang tak pernah padam.(RED.AL)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama