Kediri, sergaponline.online– Dua hari dua malam pekan lalu, Lek No terus-menerus sambat ke Pak Mukhol, tetangga depan rumahnya. Bukan karena gigi cenut-cenut. Bukan pula perkara utang yang belum lunas. Tapi, katanya, masalah kali ini jauh lebih penting dari keduanya—soal masa depan rumah tangganya bersama Lek Ni dan anak semata wayangnya, Danantara Mugi Langgeng.
"Saya mau menyampaikan uneg-uneg, Pak," kata Lek No, membuka pembicaraan malam itu.
"Sampaikan saja, Lek. Tidak usah sungkan," jawab Pak Mukhol, santai.
"Saya nggak sungkan, Pak. Tapi bingung mulai dari mana..."
"Mulai dari mana saja boleh, Lek."
"Begini, Pak... Ini soal rumah."
"Ooo... rumah tanggamu dan Lek Ni lagi ribut?"
"Lho, bukan juga. Saya dan Mak'e masih harmonis, Pak."
"Terus maksudnya rumah apa?"
"Rumah saya bocor di mana-mana, Pak."
Ternyata, bukan soal hubungan rumah tangga, tapi rumah secara harfiah. Rumah peninggalan mertuanya itu memang hanya disangga dinding kayu reyot. Gentengnya tua, lantainya tanah, cat mengelupas, dan jarak dari jalan hanya satu setengah meter. Kalau musim hujan, bocor di mana-mana. Ruang tamu, kamar, dapur—semuanya seperti ditumpahi air dari langit.
Melihat kesungguhan keluhan itu, Pak Mukhol segera bertindak. Esok harinya, ia melaporkan langsung kepada Pak Lurah Kambali, lengkap dengan dokumentasi rumah Lek No yang bisa dibilang tidak layak huni. Pak Lurah tampak berpikir. Ia butuh waktu.
Beberapa hari kemudian, Pak Mukhol menyampaikan kabar pada Lek No, “Pak Lurah sudah cari solusi, Lek. Tapi belum bisa dipastikan seperti apa. Yang penting siap dibantu.”
"Alhamdulillah. Berarti rumah saya bisa direnovasi, Pak?"
"Kurang lebih begitu, Lek."
Kalau jadi direnovasi, Lek No hanya berharap satu: atap diganti, dinding dari tembok, lantai jadi keramik. “Luasnya tetap 32 meter persegi aja, Pak,” pintanya.
Pak Mukhol mengangguk. Lalu ia kembali ke Pak Lurah. Dan ternyata, sebelum ia bicara, Pak Lurah sudah punya jawaban.
"Sudah ada solusi," kata Pak Lurah Kambali. "Ada pengusaha yang bersedia bantu."
Cepat sekali. Bahkan tanpa anggaran pemerintah, renovasi bisa mulai minggu ini juga. Bersama Pak Mukhol, Pak Lurah langsung mendatangi rumah Lek No.
“Apa tidak terlalu cepat, Pak Lurah?” tanya Lek No, heran sekaligus senang.
“Pengusahanya maunya cepat, Lek.”
“Kalau boleh tahu, rumah saya nanti direnovasi seperti apa?”
“Yang pasti, lebih bagus. Tapi…”
“Tapi apa, Pak Lurah?” tanya Lek No, penasaran.
“Luas bangunan nanti jadi lebih kecil, Lek. Tapi halaman depan luas.”
“Jadi berapa luasnya?”
“14 meter persegi.”
Sejenak suasana hening.
Lek No melongo. Kemudian ia geleng-geleng kepala.
"Maaf Pak Lurah… rumah saya memang jelek. Tapi masih cukup untuk saya dan keluarga duduk, tidur, main bareng Danantara, dan... ya, tahu sendiri, suami-istri kadang juga butuh ruang."
"Kalau cuma 14 meter, itu bukan rumah, Pak. Itu rumah keong!"
Dan yang lebih membuatnya berpikir keras, bukan hanya tempat tidur, bukan tempat menyimpan sayur dagangannya. Tapi...
"Saya dan Lek Ni nanti makin sungkan teriak kalau mau... begituan, Pak Lurah."
Pak Lurah tak bisa berkata-kata. Pak Mukhol hanya menunduk, entah menahan senyum atau bingung mau menjelaskan.
Akhirnya, rencana renovasi dibatalkan. Lek No lebih memilih rumah bocor tapi lapang, ketimbang rumah mewah tapi sesak napas. Baginya, rumah bukan hanya soal tembok dan genteng. Tapi tentang ruang untuk hidup, bercanda, bahkan berbisik dengan istrinya tanpa harus takut didengar tetangga. (red:a)
Posting Komentar