Fenomena Komunitas Gay di Kediri Raya Makin Terbuka, Butuh Perhatian Serius dari Berbagai Pihak

 


Kediri,   – Fenomena kehidupan kaum homoseksual atau gay di wilayah Kediri Raya semakin mencuat ke permukaan. Meski masih beroperasi secara daring, eksistensi kelompok ini kian menunjukkan keterbukaan yang memancing keprihatinan sebagian masyarakat.

Salah satu akun media sosial yang menjadi sorotan adalah grup bernama "Gay Jaranan Kediri Nganjuk dan Sekitarnya", yang memiliki sekitar 3.500 pengikut. Jumlah yang tidak sedikit ini menjadi indikasi bahwa komunitas tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang cukup aktif di dunia maya.

Ironisnya, di dalam grup tersebut terdapat berbagai postingan yang secara terselubung mengarah pada aktivitas pencarian pasangan sesama jenis. Ungkapan-ungkapan tersandi seperti "Cari T area Kandangan, Kepung, Puncu, Pare dan sekitarnya" atau “Info B U20 area Kediri Selatan” mengindikasikan praktik mencari pasangan berdasarkan peran seksual (Top/Bottom) dan rentang usia.

Meski menggunakan bahasa yang tidak langsung, namun makna dan tujuannya tetap dapat ditangkap oleh komunitas yang sudah memahami kodenya. Fakta ini menunjukkan bahwa dunia maya telah menjadi ‘ruang aman’ baru bagi kelompok-kelompok semacam ini untuk berekspresi sekaligus mencari relasi.

Dalam konteks jurnalistik, liputan ini tidak bermaksud menghakimi, namun semata-mata menjalankan fungsi media massa sebagai jendela informasi (window on the world), sebagaimana dikemukakan oleh Denis McQuail. Media berperan menyampaikan realitas yang sedang terjadi di masyarakat, termasuk realitas sosial yang berkembang di ruang-ruang digital.

Namun demikian, fakta ini tentu membutuhkan penyikapan yang serius, khususnya dari pihak-pihak yang berwenang. Bukan dalam bentuk diskriminatif atau kekerasan, melainkan pendekatan preventif dan edukatif yang dimulai dari lingkungan paling kecil: keluarga.

Para orang tua diharapkan semakin meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas anak-anaknya, terutama dalam penggunaan media sosial dan pergaulan sehari-hari. Lebih dari itu, penanaman nilai-nilai agama dan moral sejak dini menjadi tameng utama dalam menghadapi pengaruh gaya hidup menyimpang yang kian terbuka.

Dalam hal ini, peran institusi keagamaan baik formal seperti Kementerian Agama, maupun non-formal seperti ormas keagamaan, sangat dibutuhkan. Memerangi dampak negatif dari ideologi LGBT harus dijadikan agenda dan indikator kinerja utama (KPI) dalam menjaga moralitas generasi bangsa.

Perlu ditegaskan, bahwa meskipun pada tahun 1990 WHO telah menghapus homoseksualitas dari daftar gangguan kejiwaan berdasarkan ICD-10, namun hal itu semata didasarkan pada sudut pandang medis. WHO tidak melihat secara menyeluruh dari aspek ideologi, nilai agama, dan norma kesusilaan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam ajaran Islam dan agama-agama samawi lainnya, perilaku homoseksual termasuk dalam kategori dosa besar yang dilaknat oleh Tuhan. Oleh karena itu, pendekatan terhadap fenomena ini harus komprehensif, tidak hanya secara medis, tetapi juga dari sisi moral, sosial, dan spiritual.

Kehadiran komunitas gay yang semakin terbuka ini menjadi alarm bagi semua pihak. Bukan untuk membenci sesama manusia, melainkan untuk menyadari bahwa pengaruh gaya hidup menyimpang bisa tumbuh subur bila tidak ditanggapi dengan bijak dan serius.(red.al)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama