MAKKAH, sergaponline.online – Pelaksanaan puncak ibadah haji tahun ini kembali diwarnai kepadatan dan kemacetan ekstrem di jalur Arafah–Muzdalifah–Mina. Hal itu berdampak langsung pada ribuan jemaah, termasuk dari wilayah Kediri Raya, yang harus menempuh jarak belasan kilometer dengan berjalan kaki akibat bus yang tak bisa bergerak di tengah kemacetan.
Situasi mulai memuncak sejak Jumat malam (7/6), saat jemaah bergerak bertahap menuju Mina. Puncaknya, saat waktu menunjukkan pukul 01.00 waktu Arab Saudi, kebijakan murur (melewati Muzdalifah tanpa turun) diberlakukan. Namun, karena kemacetan parah, bus tidak dapat melintas sama sekali.
“Karena bus tidak bisa bergerak, jemaah terpaksa turun dan berjalan kaki. Mereka menyusuri jalan sepanjang kurang lebih 4 sampai 8 kilometer,” terang Khoirul Anam, Ketua Kloter SUB 03 yang membawa jemaah dari Kota Kediri dan Kabupaten Tulungagung.
Kondisi ini tentu tidak mudah, apalagi bagi para lansia dan jemaah berkebutuhan khusus. Meski demikian, Khoirul bersyukur karena jemaah tetap dalam kondisi sehat. Di Mina, konsumsi makanan dinilai cukup dan tersedia dengan baik.
Kekacauan di Arafah dan Muzdalifah, Banyak Jemaah Pingsan dan Tersesat
Cerita berbeda datang dari jemaah asal Kabupaten Kediri, yang tergabung dalam kloter lain. Mereka harus menghadapi kondisi yang jauh lebih pelik. Sejak di Arafah, pembagian tenda yang semrawut membuat jemaah dan petugas terpisah.
Menurut Ahmad Kholil, pembimbing ibadah di Kafilah 46 SUB, tidak semua tenda memiliki khotib atau imam saat wukuf. Akibatnya, beberapa jemaah putri harus difasilitasi oleh petugas dari KBIHU agar tetap bisa menjalankan wukuf dengan khusyuk.
Belum selesai persoalan di Arafah, saat pergeseran ke Muzdalifah, antrean bus menjadi titik kekacauan berikutnya. Kurangnya personel syarikah yang mengatur arus keluar-masuk jemaah menyebabkan antrean tak terkendali. Jemaah wanita banyak yang pingsan karena harus berdiri berjam-jam dalam desakan. Teriakan, keluhan, bahkan tangisan terdengar di tengah antrean.
“Ya Allah, ini bagaimana? Tidak ada yang mengatur sama sekali,” keluh Gianto, jemaah asal Desa Kawedusan, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri.
Setibanya di Muzdalifah, kepanikan belum usai. Tidak ada arahan jelas. Jemaah dari Indonesia bercampur dengan jemaah dari negara lain seperti Tiongkok, Thailand, dan Nigeria. Suasana semakin tak terkendali.
Saat waktu subuh menjelang, bus yang diharapkan tak kunjung datang. Hanya dua unit bus yang tersedia, sementara ribuan jemaah mengantre. Petugas akhirnya mengunci pintu keluar dan menyatakan bahwa tidak ada lagi bus karena kemacetan.
“No bus, no bus. Traffic jam,“ ujar seorang petugas, yang justru memicu kepanikan jemaah.
Jalan Kaki dalam Keikhlasan, Ibadah Dilanjutkan Meski Tenaga Terkuras
Tak ada pilihan lain, jemaah memilih berjalan kaki menuju Mina. Lansia, jemaah berkebutuhan khusus, dan yang lelah pun tetap memaksakan diri demi menyempurnakan ibadah. Panas mentari padang pasir mulai menyengat, padahal waktu baru menunjukkan pukul 8 pagi waktu setempat. Suhu terasa seperti pukul 11 siang di Indonesia.
“Ya Allah, paringi kuat (Ya Allah, beri kekuatan),” ucap Tarimin, salah satu jemaah yang berjuang berjalan kaki bersama ribuan jemaah lainnya.
Di sepanjang jalan, tak sedikit yang pingsan karena dehidrasi dan kelelahan. Beberapa di antaranya juga tersesat mencari maktab (tenda tempat tinggal), meski sudah menggunakan aplikasi pendukung. Kondisi semrawut ini menyulitkan banyak jemaah.
Setibanya di Mina, jemaah diarahkan masuk ke tenda masing-masing. Namun sebagian yang sudah sampai lebih dulu telah selesai melontar jumrah Aqabah dan berganti pakaian biasa. Sementara yang baru tiba terpaksa menunda lontar jumrah karena kelelahan ekstrem.
Pakaian ihram mereka basah oleh keringat. Dengan wajah letih, mereka langsung merebahkan badan. Ada yang memejamkan mata, ada pula yang hanya duduk diam sembari menarik napas dalam. Semua berharap agar bisa segera pulih dan melanjutkan rangkaian ibadah dengan lancar.(RED.AL)
Posting Komentar