KEDIRI, sergaponline.online – Bulan Suro kembali tiba, dan meski zaman terus berkembang, sebagian besar masyarakat Jawa tetap menjaga berbagai tradisi dan larangan yang diwariskan secara turun-temurun. Bulan yang bersamaan dengan Muharram dalam kalender Hijriah ini bukan sekadar penanda tahun baru Jawa, tapi juga menjadi momen penuh kontemplasi, kesakralan, dan laku spiritual.
Dalam budaya Jawa, Bulan Suro dipandang sebagai bulan yang memiliki energi gaib kuat. Karena itu, masyarakat—terutama di pedesaan—masih memegang erat sejumlah pantangan yang dipercaya bisa menjaga diri dari kesialan dan bencana.
Tradisi Bukan Mitos, Tapi Refleksi Diri
Bagi sebagian kalangan, larangan-larangan yang ada di Bulan Suro tidak hanya sekadar mitos, melainkan bentuk laku prihatin—yakni menahan diri dari hal-hal bersifat duniawi demi ketenangan batin.
“Bulan Suro itu waktunya mengendap, bukan berpesta,” ujar Mbah Parman, sesepuh di Kecamatan Ngasem, Kediri.
Menurutnya, masyarakat Jawa terdahulu sangat selektif dalam mengambil keputusan selama Bulan Suro. Semua hal yang dianggap bisa memancing energi negatif, sebaiknya ditunda hingga bulan berikutnya.
Tujuh Larangan Populer Selama Bulan Suro
Beberapa larangan yang masih dijalankan masyarakat antara lain:
Menunda Pernikahan
Banyak keluarga memilih tidak menggelar pernikahan karena diyakini bisa membawa ketidakcocokan dalam rumah tangga.Tidak Menggelar Hajatan
Acara besar seperti khitanan atau tasyakuran dianggap tidak selaras dengan nuansa khusyuk Bulan Suro.Menghindari Pindah Rumah
Warga percaya, pindah rumah saat Suro bisa memicu rezeki seret atau ketidaknyamanan di tempat baru.Tidak Keluar Malam
Malam hari, terutama Malam 1 Suro, diyakini sebagai waktu rawan secara spiritual.Menunda Khitan Anak
Beberapa orang tua memilih waktu lain untuk khitan anak agar tidak mengganggu proses penyembuhan.Menjaga Suasana Tenang
Masyarakat dianjurkan tidak membuat kebisingan seperti musik keras, pesta, atau gelak tawa berlebihan.Menghindari Pertikaian
Bulan Suro dianggap sebagai waktu tepat untuk berdamai, bukan saling menyakiti.
Pandangan Islam: Antara Keyakinan dan Kearifan
Secara syariat, Islam tidak melarang aktivitas seperti pernikahan atau pindah rumah selama bulan Muharram. Bahkan, bulan ini termasuk salah satu bulan haram (suci) yang dianjurkan untuk memperbanyak amal dan ibadah.
Namun, larangan dalam budaya Jawa lebih dilihat sebagai bagian dari adat lokal yang mengajarkan kehati-hatian dan introspeksi. Sebuah kearifan yang tumbuh seiring perjalanan sejarah budaya dan spiritualitas masyarakat setempat.
Warisan Budaya yang Tetap Hidup
Di beberapa desa di Kediri, Bulan Suro justru menjadi momentum untuk menyelenggarakan tradisi seperti tirakatan, kenduri, pengajian, dan kirab budaya. Semua itu dilakukan bukan semata-mata ritual kosong, tetapi sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan sarana mendekatkan diri pada Tuhan.
“Selama tidak bertentangan dengan agama, larangan di Bulan Suro bisa dijalankan sebagai bentuk eling lan waspada,” tambah Mbah Parman.(RED.AL)
Posting Komentar