Sritex Bangkrut, Pelajaran Pahit dari Perusahaan Tekstil Raksasa yang Gagal Menentukan Fokus Pasar

  


Jakarta,  sergaponline.online – Nama PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau yang lebih dikenal dengan Sritex, pernah harum sebagai salah satu raksasa industri tekstil Indonesia. Perusahaan yang berdiri sejak 1966 di Sukoharjo, Jawa Tengah, ini sempat dikenal luas hingga ke kancah internasional berkat produksinya yang masif, termasuk seragam militer untuk NATO.

Namun kini, nama Sritex kembali jadi sorotan bukan karena prestasi, melainkan kabar pahit: pailit secara resmi dan tengah diselidiki dalam kasus dugaan korupsi terkait kredit dari dua bank daerah. Pada Senin (10/6/2025), Direktur Utama Sritex diperiksa oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam kasus tersebut.

Di balik masalah hukum dan finansial, runtuhnya Sritex sebenarnya menyimpan pelajaran penting dalam hal strategi pemasaran.

Gagal Menentukan Arah: Strategi Pemasaran Tanpa Fokus

Menurut pakar pemasaran, kegagalan Sritex bisa dijelaskan lewat teori yang ditulis oleh Michael Treacy dan Fred Wiersema dalam buku mereka berjudul “The Discipline of Market Leaders”. Buku tersebut menjelaskan bahwa perusahaan yang ingin sukses harus memilih satu dari tiga disiplin utama: operational excellence, product leadership, atau customer intimacy.

Sayangnya, Sritex tidak menonjol di salah satunya. Perusahaan terlalu fokus pada produksi massal tekstil dasar tanpa inovasi berarti, menjadikannya hanya kuat secara volume namun lemah dalam diferensiasi.

“Dari sisi operational excellence, Sritex memang punya kapasitas besar. Tapi efisiensi dan daya saing harga mereka tidak mampu menyaingi negara seperti Vietnam atau Bangladesh,” ujar Dwi Raharjo, pengamat ekonomi industri tekstil.

Tidak Ada Inovasi, Tidak Ada Loyalitas

Di era industri kreatif dan cepat berubah seperti sekarang, inovasi adalah kunci. Sritex tidak berhasil membangun merek fashion atau produk inovatif yang bisa berbicara langsung kepada konsumen akhir. Padahal perusahaan lain seperti Erigo atau bahkan merek luar seperti Uniqlo justru tumbuh dari kekuatan inovasi dan pemahaman pasar anak muda.

“Kalau mereka ambil jalur product leadership, maka inovasi dan brand positioning harus jadi kekuatan utama. Tapi itu tidak terlihat dari Sritex,” tambah Dwi.

Sritex juga tidak menjalin kedekatan langsung dengan konsumen (customer intimacy). Hubungan mereka bersifat B2B, tidak membangun loyalitas di pasar retail. Saat permintaan ekspor terguncang oleh pandemi, perang dagang, dan inflasi global, mereka tidak punya basis pelanggan lokal yang kuat.

Ketergantungan Ekspor: Risiko yang Terlalu Mahal

Selama ini, sekitar 60 persen lebih pendapatan Sritex berasal dari pasar ekspor. Ketika negara tujuan seperti Amerika Serikat dan Eropa mengalami pelemahan daya beli, permintaan turun drastis. Sritex tidak siap. Tidak ada diversifikasi pasar atau inovasi produk yang bisa menyelamatkan mereka.

Menurut Philip Kotler, ketergantungan tinggi pada satu segmen pasar adalah risiko yang bisa menjadi bumerang, terutama jika tidak diimbangi dengan adaptasi dan inovasi berkelanjutan.

Akhir Tragis dari Perusahaan Legendaris

Sritex mungkin pernah berjaya, tapi kejatuhannya kini menjadi peringatan keras bagi para pelaku industri: bahwa kapasitas besar tanpa arah strategis yang jelas hanya akan menimbulkan kerentanan.

Buku “The Discipline of Market Leaders” telah mengingatkan bahwa perusahaan tidak bisa menjadi segalanya untuk semua orang. Fokus, inovasi, dan kedekatan dengan pasar harus menjadi pilihan sadar. Jika tidak, mereka bisa mengalami nasib serupa seperti Sritex: menjadi legenda yang tenggelam oleh zaman.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama