Kediri, sergaponline.online – Rumah bercorak klasik di sebuah gang sempit wilayah Kelurahan Banjaran, Kecamatan Kota, menyimpan banyak cerita. Bukan soal bangunan atau arsitekturnya, melainkan sosok yang tinggal di dalamnya. Sujito, pria berusia 62 tahun, hidup sederhana, namun kaya akan karya seni.
Di halaman depan rumahnya yang ditata menyerupai pendapa, berbagai hasil ukiran terpajang anggun di sudut-sudut ruangan. Siapa sangka, pria yang sehari-hari mengenakan udeng hitam ini bukan lulusan sekolah seni. Justru, dia mengawali karier sebagai guru olahraga di usia 19 tahun.
"Saya memang suka berbagi. Ilmu itu kalau disimpan sendiri, tidak akan berkembang," ungkap Sujito dengan senyum tenangnya, saat ditemui di kediamannya, belum lama ini.
Pernyataan itu bukan sekadar retorika. Saat Festival Kuno Kini 2025 digelar Minggu (25/5) lalu, Sujito menjadi pengisi workshop pembuatan topeng dari serbuk kayu. Di hadapan peserta yang mayoritas anak muda, Sujito membagikan teknik, pengalaman, dan filosofi di balik seni rupa yang ia tekuni sejak muda.
Yang membuat kisah Sujito menarik, perjalanan seninya tidak pernah ditopang latar akademik. Keterampilan yang ia miliki hari ini tumbuh dari rasa ingin tahu, ketekunan, dan kreativitas tinggi. "Saya dulu STM jurusan kelistrikan, malah jadi guru olahraga. Tapi seni tetap saya peluk erat," katanya sambil terkekeh.
Sujito mengingat masa kecilnya dengan penuh semangat. Ia suka menggambar, membuat mainan dari barang bekas, dan diam-diam mengamati tetangganya yang seorang sarjana seni ketika sedang memahat.
Namun impian masuk sekolah seni harus pupus karena alasan ekonomi. Tak mampu membeli alat pahat, Sujito muda tak kehilangan akal. "Saya pipihkan paku pakai palu, jadi alat pahat buatan sendiri," kenangnya. Dengan alat seadanya itu, ia tetap berkarya, meski hasilnya belum maksimal.
Takdir kemudian membawanya menjadi guru olahraga. Tapi dunia seni tetap jadi rumah batinnya. Di sela melatih atlet Kota Kediri, dia juga aktif di dunia teater lokal, terutama bagian properti, termasuk membuat topeng kertas untuk pementasan.
Hingga suatu hari, saat menambal kayu dengan dempul, ide orisinal muncul. “Saya kepikiran, kenapa gak bikin topeng dari campuran serbuk kayu dan dempul? Murah, bahan melimpah, bahkan serbuknya bisa dapat gratis,” katanya sambil menunjukkan beberapa topeng karya tangannya.
Kini, topeng-topeng kreasinya tak hanya digunakan dalam pementasan, tetapi juga sebagai media edukasi seni di berbagai kegiatan pelatihan.
Bagi Sujito, hidup bukan soal jalan lurus dan terencana. Ia justru menemukan panggilannya dari keragaman pengalaman dan keterampilan yang diberikan Tuhan.
“Gak semua harus nyambung. Saya guru olahraga, lulusan STM listrik, tapi hobi saya seni. Saya syukuri semuanya. Karena itu saya bisa berbagi ke banyak orang,” tutup pria berambut putih itu dengan mata berbinar.
Sosok seperti Sujito menjadi pengingat, bahwa semangat berkarya dan berbagi ilmu tidak pernah mengenal batas usia maupun latar pendidikan.(red.al)
Posting Komentar